Jurnal Predator

Isu jurnal predator (predatory journal), keprihatinan atas fenomena penyalahgunaan inisitatif open access journal (OAJ) telah disuarakan pada awal tahun lalu. Apa itu OAJ ? OAJ pada hakekatnya adalah inisiatif mulia dari komunitas ilmiah global untuk membuka akses informasi ilmiah ke publik secara cuma-cuma. Inisiatif ini tidak lain sebagai konsekuensi teknologi internet di awal tahun 2000-an. Inisiatif ini kemudian diikuti oleh pendirian Directory of Open Access Journal (DOAJ) pada awal 2003. Ide ini didorong oleh keinginan mulia bahwa informasi ilmiah seharusnya menjadi milik publik. Untuk itu biaya penerbitan jurnal seharusnya disokong oleh dana publik, apakah dari organisasi nirlaba maupun institusi riset besar berbasis kolaborasi global. Sejak awal inisiatif ini tidak mudah berjalan karena belum adanya bisnis model yang mapan. Tidak mudah membentuk ekosistem sesuai hukum ekonomi yang realistis. Karena tidak mudah mencari penyokong dana (secara berkesinambungan) untuk penerbitan OAJ dari sebagian pemangku kepentingan di komunitas terkait. Dilain sisi secara historis bisnis penerbitan telah berjalan sejak ratusan tahun lampau dengan model bisnis standar :
                        1.Pemasok : para peneliti penulis artikel.
                        2.Penjual : para penerbit jurnal ilmiah yang dikelola oleh komunitas secara sukarela dan nirlaba.
                        3.Pembeli : pembaca / pelanggan artikel ilmiah yang membayar dengan tarif tertentu.
Setelah memasuki era internet di abad 21, model bisnis ini mengalami koreksi, termasuk dari komunitas peneliti sebagai pemangku kepentingan utama. Sebagian besar beranggapan para penerbit terlalu banyak mengambil margin, terlebih distribusi konten semakin banyak didominasi oleh media internet dengan biaya yang jauh lebih rendah. Selain itu, biaya cetak juga terpangkas signifikan dengan sistem printing on demand sesuai kebutuhan. Bahkan ‘pembelian’ produk didominasi oleh access only purchase dalam bentuk berkas elektronik. Sehingga, di tengah euforia internet secara riil terjadi pergeseran model bisnis dalam ‘dunia penerbitan jurnal ilmiah’. Di satu sisi konsumen menghendaki penurunan biaya akses (berlanggan), karena diyakini teknologi internet telah menurunkan biaya produksi dan distribusi penerbitan. Di lain pihak, penerbit mengalami ‘krisis’ atas peningkatan kompetisi antar penerbit, baik lama maupun baru, mengingat kemudahan akses dan perubahan pola akses konsumen modern yang hanya ditentukan oleh satu ‘klik’.
Aliensi Peneliti Negara Berkembang
Mengapa jurnal predator banyak diminati peneliti negara berkembang? Jika mau jujur jawabnya sangat sederhana: karena mudah! Tentu saja ribuan argumentasi dapat disusun untuk membantah ini, namun menurut saya tidak ada jawaban yang lebih logis jika melihat kondisi penelitian negara berkembang. Sebenarnya, tanpa disadari melalui jurnal predator peneliti negara berkembang mulai mengasingkan diri dari sejawat mereka di negara maju yang relatif lebih unggul. Rendahnya kontribusi makalah dari negara maju dalam hal ini menunjukkan bahwa jurnal-jurnal predator memiliki visibilitas rendah di mata mayoritas pakar. Akibatnya, kontribusi peneliti negara berkembang sulit terdeteksi oleh sejawatnya di negara maju.
Di sinilah letak masalahnya. Kita semua sepakat bahwa penggalian ilmu pengetahuan bersifat universal. Meski efek lokal bisa melekat pada bidang tertentu, hakikat penelitian tetap universal. Apalagi jika kita ingin membangun universitas riset yang unggul dalam bidang-bidang tertentu melalui penelitian. Bagaimana bisa disebut unggul, jika kita tidak diakui secara global. Ada cara lain yang bisa digunakan, yaitu cara scholar yang lebih etis dan elegan, seperti menilai seberkas makalah. Ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, penilai harus pakar sebidang dengan kapasitas minimal setara. Kedua, penilai harus bebas dari konflik kepentingan. Ketiga, penilai harus fokus pada karya, bukan pembuatnya. Keempat, penilai bersandar pada keyakinan kejujuran ilmiah (scientific trust).

Kebijakan Pemerintah 

Berkembangnya polemik jurnal predator merupakan momen yang tepat bagi pemerintah, dalam hal ini Ditjen Dikti, untuk membenahi masalah penelitian dan publikasi ilmiah kita. Apa yang dibutuhkan sebenarnya adalah definisi jurnal yang baik yang direkomendasikan Dikti sebagai wahana mencapai cita-cita universitas riset. Jurnal komunitas yang dikelola himpunan profesi dan beberapa jurnal lain yang sudah sering digunakan komunitas masuk kategori ini. Pemerintah tinggal membuat basis data jurnal yang dapat direvisi tiap tahun dengan berkonsultasi kepada himpunan profesi dan pakar. Jika hal ini dirasa sulit, ambil saja satu atau dua jurnal utama komunitas penelitian, periksa pada bagian acuan tiap makalah. Jurnal yang paling sering muncul jelas adalah jurnal komunitas juga. Namun, jika hal ini masih dirasa sulit, pilihan terakhir adalah jurnal dengan impact factor.
Referensi:
Jeanne Adiwinata Pawitan, Jurnal Predator Bisa Dinilai Ulang?, Kompas (11 Juni 2013).

Jeffrey Beall, Scholarly Open Access - Critical analysis of scholarly open-access publishing,

Sudarsono Hardjosoekarto, Heboh Jurnal Predator, Kompas (24 April 2013).

Terry Mart, Jurnal Predator!, Kompas (2 April 2013).

0 komentar: